Latar Belakang Perang Mutah
Perang Mutah merupakan salah satu pertempuran terpenting dalam sejarah Islam yang terjadi pada tahun 629 M tahun 8 H (Watt, 1961).Pertempuran ini berlangsung antara pasukan Muslim yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW dan pasukan Kekaisaran Byzantium (Romawi Timur) dan sekutunya di wilayah Mutah yang sekarang terletak di Negara Yordania (Watt, 1961). Perang Mutah terjadi disebabkan terbunuhnya utusan Nabi Muhammad SAW yaitu Harits bin Umair al-Azdi oleh tokoh penguasa Busra bawahan Kekaisaran Bizantium (Mubarakpuri, 1996).
Nabi Muhammad SAW mengirim Harits dengan pesan damai kepada pemimpin Busra akan tetapi Harits dibunuh dalam perjalanan. Pembunuhan seorang utusan dianggap sebagai tindakan yang sangat serius dalam tradisi Arab dan internasional kala itu, karena utusan diplomat biasanya mendapat perlindungan penuh (Mubarakpuri, 1996). Sebagai respon dari tindakan keji tersebut, Nabi Muhammad SAW memutuskan untuk mengirim ekspedisi militer guna menegakkan keadilan dan menunjukkan kekuatan umat Islam.
Persiapan Perang Mutah
Pasukan Muslim yang dikirim oleh Nabi Muhammad SAW pada perang Mutah berjumlah 3.000 pasukan, merupakan kontingen terbesar yang pernah dikirim pada masa itu (Lings, 1983). Komandan utama pasukan dalam perang Mutah adalah Zaid bin Haritsah yang ditunjuk langsung oleh Nabi Muhammad SAW (Mubarakpuri, 1996). Selanjutnya Nabi memberikan pesan dan instruksi jika Zaid gugur, komando akan diambil alih oleh Ja’far bin Abi Thalib dan jika Ja’far juga gugur, Abdullah bin Rawahah akan memimpin pasukan (Mubarakpuri, 1996). Jika semua komandan ini gugur, maka pasukan Muslim diinstruksikan untuk memilih komandan dari kalangan mereka sendiri (Mubarakpuri, 1996).
Setibanya di wilayah Mutah, pasukan Muslim dikejutkan dengan jumlah pasukan Kekaisaran Bizantium dan sekutu yang jauh melebihi besar dari pasukan Muslim. Jumlah pasukan Kekaisaran Bizantium berjumlah sekitar 100.000 hingga 200.000 pasukan, sedangkan jumlah pasukan Muslim sekitar 3.000 pasukan. (Lings, 1983). Meskipun menghadapi tantangan besar, pasukan Muslim tetap bertekad untuk bertempur. Pertempuran diawali dengan komando dari Zaid bin Haritsah, yang memimpin pasukan dengan gagah berani hingga gugur (Mubarakpuri, 1996).
Setelah gugrnya Zaid, komando pasukan diambil alih oleh Ja’far bin Abi Thalib dan bertarung dengan semangat tinggi, hingga beliau juga gugur. Selanjutnya komando pasukan diambil alih oleh Abdullah bin Rawahah namun dia juga gugur harus dalam pertempuran tersebut (Mubarakpuri, 1996). Setelah ketiga komando utama gugur, Khalid bin Walid, seorang komandan perang yang ahli, dipilih oleh pasukan Muslim untuk memimpin mereka (Mubarakpuri, 1996). Dengan kepemimpinan strategis Khalid, pasukan Muslim berhasil bertahan dan melakukan manuver taktis untuk mundur secara teratur dari medan perang, menghindari kehancuran total.
Dampak Perang Mutah
Perang Mutah memberikan beberapa dampak penting bagi kaum Muslimin diantaranya sebagai berikut:
Kepemimpinan Militer
Khalid bin Walid menunjukkan kemampuan kepemimpinan dan taktik militer yang luar biasa, yang kemudian membuatnya mendapatkan julukan “Saifullah” atau “Pedang Allah” dari Nabi Muhammad SAW.
Moral dan Semangat Pasukan
Meskipun secara teknis pasukan Muslim tidak menang, kemampuan mereka untuk bertahan melawan pasukan yang jauh lebih besar dan terorganisir meningkatkan moral dan semangat umat Muslim secara keseluruhan.
Hubungan Dengan Kekaisaran Bizantium
Perang ini menandai awal dari serangkaian konflik antara umat Muslim dan Kekaisaran Bizantium, yang akan berlangsung selama beberapa dekade ke depan.
Peningkatan Pengaruh Islam
Meskipun pertempuran ini berat, keberanian dan keteguhan pasukan Muslim menarik perhatian suku-suku Arab lainnya, yang kemudian banyak diantara mereka yang tertarik dan masuk Islam.
Kesimpulan
Perang Mutah adalah peristiwa penting dalam sejarah Islam yang menunjukkan keberanian, kepemimpinan, dan keteguhan hati pasukan Muslim dalam menghadapi tantangan yang sangat besar. Peristiwa ini juga menunjukkan bahwa perjuangan umat Muslim tidak hanya didasarkan pada jumlah pasukan, tetapi juga pada strategi, iman, dan keberanian.
Sumber Referensi
Mubarakpuri, S, R. (1996). Ar-Raheeq Al-Makhtum (Sirah Nabawiyah). Darussalam Publishers.
Lings, M. (1983). Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources. Inner Traditions.
Watt, W. M. (1961). Muhammad: Prophet and Statesman. Oxford University Press.
Keterangan:
Penulis: Martini
Editor Naskah: Marcelia Virantinur
Penerbit Naskah: Martini