Wasistha.com – Money politics atau seing kita sebut sebagai politik uang telah mengakar dalam pemilihan kepala daerah di seluruh Indonesia. Praktik ini bukan lagi sekadar rumor, melainkan kenyataan yang telah merusak akar dari moral dan etika dalam berbangsa dan bernegara. Money politics dilakukan dengan cara memberikan uang atau hadiah-hadiah material kepada masyarakat, dengan harapan pemilih berkenan memberikan hak suaranya untuk mendukung calon yang bermurah hati. Uang tunai, sembako, janji pekerjaan hingga paket hiburan sering kali mengalir seperti banjir menjelang PILKADA, seolah-olah suara rakyat bisa dibeli seperti komoditas murah.
Tak ada lagi PILKADA yang murni atas dasar visi, misi dan kompetensi dari setiap calon, akan tetapi yang terjadi hanyalah perlombaan dan jualan janji kosong dibalut dengan bantuan yang hanya bermanfaat sesaat bagi masyarakat. Dampak dari praktik ini menjadikan masyarakat apatis dan menganggap PILKADA sebagai ajang untuk mencari keuntungan sesaat. Padahal, konsekuensi yang dihadapi sangatlah fatal karena masyarakat akan terjebak dengan kepemimpinan yang hanya pintar bermanuver di balik bayang-bayang uang.
Dampak Money Politics terhadap Kualitas Kepemimpinan Daerah
Politik uang akan menghancurkan kualitas kepemimpinan daerah dari dalam, kepemimpinan yang diperoleh dengan cara membeli kursinya dengan uang cenderung tidak akan peduli dengan masyarakat dan kemajuan daerah. Mereka hanya peduli pada kepentingan pihak-pihak yang membiayai mereka. Lalu, apa yang diharapkan oleh masyarakat dari pemimpin yang datang dan menjabat dengan cara seperti itu? Alih-alih memperjuangkan kepentingan rakyat, mereka akan sibuk untuk membayar utang politik pada kelompok yang telah memodali mereka. Kepemimpinan daerah yang datang dengan jalan money politics sering kali lemah serta tidak memiliki kualitas dan integritas yang baik. Akibatnya, daerah akan dipimpin oleh figur yang tidak berkualitas dan kompeten.
Faktor-Faktor yang Pemicu Terjadinya Money Politics
Politik uang terus berkembang bukan tidak memiliki alasan, rendahnya kesadaran politik masyarakat adalah celah besar yang dimanfaatkan oleh calon pemimpin yang haus kekuasaan. Banyak masyarakat yang masih mudah tergiur dengan hadiah instan, alih-alih memahami urgensi memilih pemimpin yang benar-benar kompeten. Ditambah lagi, pengawasan terhadap praktik ini nyaris tidak ada gigi. Apa gunanya aturan jika pelaksanaannya setengah hati? Tanpa pengawasan yang tegas, politik uang menjadi normal dalam setiap PILKADA. Lebih parah lagi, budaya politik kita seolah-olah telah membenarkan politik uang sebagai cara yang sah. Masyarakat bahkan menganggap pemberian uang sebagai hal yang lumrah. Dengan pola pikir seperti ini, apa harapan untuk memiliki sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang sehat? Jika budaya ini terus dilanggengkan dan tidak ada tempat bagi pemimpin yang benar-benar layak.
Hubungan antara Money Politics dan Degradasi Etika Kepemimpinan Daerah
Politik uang tak sekadar melukai proses kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi juga merusak etika kepemimpinan hingga ke akarnya. Pemimpin yang terpilih melalui jalur gelap ini sering kali kehilangan integritasnya sejak awal. Lebih parah lagi, degradasi etika ini menular ke semua aspek pemerintahan. Pemimpin yang awalnya terpilih melalui jalur gelap cenderung mempertahankan kursi mereka dengan cara yang gelap. Mereka membentuk lingkaran setan dengan memberikan keuntungan-keuntungan bagi kelompok tertentu dan dampaknya jelas yakni pemerintahan jadi penuh dengan intrik, korupsi dan kepentingan pribadi. Masyarakat hanya jadi korban janji, terjebak dalam sistem kepemimpinan yang makin membusuk.
Konsekuensi Sosial dan Ekonomi dari Money Politics di Daerah
Money politics menghancurkan bukan hanya menghancurkan kehidupan berbangsa dan bernegara, tapi juga tatanan sosial dan ekonomi masyarakat. Secara sosial, praktik ini menciptakan masyarakat yang apatis, yang hanya peduli pada iming-iming sesaat dari pada kepentingan jangka panjang. Rasa percaya pada pemerintah memudar dan hubungan masyarakat dengan pemimpin menjadi rapuh dan sinis. Secara ekonomi, dampaknya lebih menghancurkan. Money politics menciptakan kepemimpinan yang tak kompeten dan tak visioner.
Kepemimpinan ini akan yang lebih mementingkan pengembalian modal dari pada pembangunan. Anggaran daerah yang seharusnya dialokasikan untuk membangun infrastruktur atau pelayanan publik, justru habis untuk proyek-proyek yang hanya menguntungkan pribadi dan segelintir orang. Selain itu kesenjangan ekonomi akan melebar, pembangunan tersendat dan daerah tertinggal dalam segala aspek. Dengan politik uang, kita sebagai masyarakat sedang menanam bom waktu yang siap meledak kapan pun yang membinasakan diri kita sendiri.
Keterangan:
Penulis: Sulpiandi
Editor Naskah: Marcelia Virantinur
Penerbit Naskah: Martini